Aan seharusnya sedang sibuk merajut masa depan. Ia punya mimpi, seperti pemuda lainnya di Desa Sondana, Bolaang Uki. Tapi takdir memotong jalurnya terlalu cepat, terlalu tajam.
Di usia 20 tahun, Revan Kurniawan Santoso yang dikenal sebagai Aan meninggal dunia setelah menjalani masa tahanan di Polres Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Ia Pulang Bukan dengan Cerita, Tapi Luka
Tubuhnya berubah selama ditahan. Ketika dijenguk, ia tak lagi duduk tegak. Ia miring, pelan, dan sesekali memegangi dadanya. Keluarga mengira ia hanya kelelahan. Tapi mereka salah.
Setelah dilimpahkan ke Kejaksaan Kotamobagu (Kejari), kondisinya memburuk drastis. Ia tak bisa berdiri. Napasnya pendek dan menyakitkan.
Rumah sakit menjadi pelabuhan terakhirnya. Di sana, rontgen bicara: dua tulang rusuk patah. Bukan karena jatuh. Bukan karena kecelakaan. Tapi karena hantaman benda tumpul.
“Aan hanya bisa tidur miring. Kalau telentang, dia kesakitan. Bahkan untuk tertawa, dia harus menahan diri,” lirih seorang anggota keluarga.
Yang paling memilukan, sebelum tubuhnya menyerah, Aan sempat menulis surat. Tulisan tangan itu gemetar, beberapa huruf nyaris tak terbaca. Tapi pesannya jelas: ia mengalami kekerasan.
Surat itu kini menjadi saksi. Satu-satunya suara yang berhasil lolos dari balik jeruji.
Keluarga Menuntut Keadilan
Keluarga Aan tak tinggal diam. Mereka mengantongi hasil rontgen, menunggu hasil otopsi, dan berharap sistem hukum tak menutup mata. Mereka tahu, dua rusuk patah bukan statistik. Itu adalah jeritan yang tak sempat terucap.
“Andaikan ia bersalah, biarlah hukum yang memutuskan. Tapi sebelum palu hakim diketuk, Aan sudah tiada,” ucap seorang kerabat, dengan suara nyaris hilang.
Bagi mereka, ini bukan hanya tentang Aan. Ini tentang siapa pun yang mungkin mengalami hal serupa, tapi memilih diam karena takut. Mereka ingin luka ini menjadi pengingat. Bukan sekadar berita yang lewat.
Tanggapan Resmi Polres Bolsel dan Kejaksaan Kotamobagu
Dalam konferensi pers yang digelar di Bolsel, sejumlah pejabat hadir: Kasat Reskrim Iptu Dedy Matahari, Kasi Intel Kejari Kotamobagu Julian Charles Rotinsulu, Kasi Humas Polres Ipda Ahmad Wolinelo, Direktur RSUD Bolsel dr. Saldy Mokodongan, serta dokter Polres dr. Yanuar.
Iptu Dedy Matahari membantah tuduhan penganiayaan. Kata Dedy, selama almarhum berada di Polres, tidak pernah ada penganiayaan.
Bahkan saat pelimpahan berkas ke Kejaksaan, hasil pemeriksaan medis menyatakan kondisinya sehat.
“Sejak 21 Juli 2025, status Aan menjadi tahanan Kejaksaan dan dititipkan di Rutan Kotamobagu,” kata Dedy.
Kasi Intel Kejari Kotamobagu, Julian Charles Rotinsulu turut menguatkan pernyataan tersebut.
“Saat tahap II pelimpahan berkas, kondisi Aan sehat jasmani dan rohani. Namun pada 14 Agustus, dokter rutan merujuknya ke rumah sakit karena kondisi menurun,” ungkapnya.
Aan dirawat di RS Kotamobagu hingga 18 Agustus, lalu direncanakan dirujuk ke Manado.
Pihak keluarga mengajukan permohonan pengalihan tahanan kota, yang disetujui Jaksa Penuntut Umum.
Direktur RSUD Bolsel, dr. Saldy Mokodongan, menyebut Aan sempat beberapa kali dirawat dengan keluhan sesak napas dan nyeri dada.
“Hasil diagnosa menunjukkan adanya penyakit asam lambung dan infeksi saluran pernapasan,” jelasnya.
Hal senada disampaikan dr. Yanuar, dokter mitra Polres Bolsel. Ia menyebut pemeriksaan medis terakhir pada 21 Juli menunjukkan kondisi Aan normal dan sehat.
Namun keluarga tetap meyakini bahwa kematian Aan bukan murni karena sakit. Mereka menduga ada unsur penganiayaan selama masa tahanan di Polres Bolsel.
“Kami berharap Kapolda Sulut turun langsung mengusut kasus ini. Jangan sampai ada nyawa hilang tanpa kejelasan,” tegas perwakilan keluarga.
Suara yang Tak Boleh Dibungkam
Aan telah pergi. Tapi dua rusuk yang patah itu bicara. Mereka bicara tentang sistem yang seharusnya melindungi, tapi justru melukai. Tentang keadilan yang seharusnya hadir sebelum vonis dijatuhkan.
Jika kisah ini dibungkam, maka luka Aan akan membusuk dalam diam. Tapi jika diperjuangkan, maka dua rusuk yang patah ini akan menjadi penanda sejarah, bahwa suara dari balik jeruji tak bisa selamanya dibungkam. (*)